Aldon

Samosir

Aldon Samosir

Guru dari Kampoeng

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 26 Januari 2023

Memimpin Perubahan Positif : Inkuiri Apresiatif sebagai Paradigma


Untuk dapat mewujudkan visi sekolah impian dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai garis “ finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti alat olahraga. Dalam pembelajaran kali ini, kita akan mengeksplorasi paradigma yang disebut Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Cooperrider & Whitney, 2005; Noble & McGrath, 2016). Kita akan memakai pendekatan IA sebagai ‘alat olahraga’ untuk kita berlari mencapai garis “finish”kita yaitu visi yang kita impikan.

Manajemen perubahan yang biasa dilakukan lebih menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari proses tersebut untuk diperbaiki. Hal ini berbeda dengan IA yang berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.
IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan. 

Menurut Cooperrider & Whitney (2005), Inkuiri Apresiatif adalah suatu filosofi, suatu landasan berpikir yang berfokus pada upaya kolaboratif menemukan hal positif dalam diri seseorang, dalam suatu organisasi dan dunia di sekitarnya baik di masa lalu, masa kini maupun masa depan. Ia berpendapat juga bahwa saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan apresiasi atas hal yang sudah berjalan baik. Bila organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan.

Dalam video di Youtube tersebut, Cooperrider juga menceritakan bahwa pendapatnya ini sejalan dengan pendapat Peter Drucker, seorang Begawan dalam dunia kepemimpinan dan manajemen. Menurut Drucker, kepemimpinan dan manajemen adalah keabadian. Oleh sebab itu, seorang pemimpin bertugas menyelaraskan kekuatan yang dimiliki organisasi. Caranya adalah dengan mengupayakan agar kelemahan suatu sistem dalam organisasi tidak menjadi penghalang, karena semua aspek dalam organisasi fokus pada penyelarasan kekuatan.

Perubahan di sekolah dapat diinisiasi oleh pihak luar, tetapi perubahan yang paling penting dan berkesinambungan akan datang dari dalam.” ~ Roland Barth, “Improving schools from within” (1990)


Peran Guru Penggerak

Di masa mendatang, Guru Penggerak diharapkan dapat memainkan peran-peran memimpin perubahan dalam ekosistem pendidikannya masing-masing. Kepemimpinan seorang Guru tentunya akan lebih maksimal jika memiliki keterampilan ataupun kompetensi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan. Bapak/Ibu diajak untuk membaca dan memahami 4 kategori kompetensi sebagai kompetensi-kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin di lingkungan sekolah, yaitu: mengembangkan diri dan orang lain, memimpin pembelajaran, memimpin manajemen sekolah, serta memimpin pengembangan sekolah. Seorang Guru Penggerak diharapkan mempunyai kesemua kompetensi itu. Guru Penggerak juga berfokus sebagai pemimpin yang menggerakkan diri, sesama, serta lingkungan-masyarakat untuk mewujudkan sekolah yang berpihak pada murid. Peran Guru Penggerak muncul sebagai respon atas 4 kompetensi kepemimpinan sekolah tersebut. Gambar di bawah berusaha menggambarkan Peran Guru Penggerak yang dimulai dengan pendalaman Nilai-nilai Guru Penggerak dalam diri Guru Penggerak. Terdapat 5 peran Guru Penggerak yang akan diuraikan secara singkat di bagian ini.
 Peran Guru Penggerak di lingkup kelas-sekolah dan lingkungan-masyarakat

1. Menjadi Pemimpin Pembelajaran 
Sambil menginternalisasikan nilai-nilai, Guru Penggerak akan meresonansikan semangat-harapan-antusiasme yang dirasakan oleh mereka yang berinteraksi dalam lingkaran pengaruh sang Guru Penggerak baik di kelas, sekolah, maupun lingkunganmasyarakat. Diisyaratkan juga, bahwa Guru Penggerak itu menjalankan filosofi among Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso Sung Tulada (menjadi teladan, memimpin, contoh kebajikan, patut ditiru atau baik untuk dicontoh oleh orang lain perbuatan-kelakuan-sifat dan lainlainnya), Ing Madya Mangun Karsa (memberdayakan, menyemangati, membuat orang lain memiliki kekuatan, kemampuan, tenaga, akal, cara, dan sebagainya demi memperbaiki kualitas diri mereka), serta Tut Wuri Handayani (mempengaruhi, memelihara, dan memprovokasi kebajikan serta kualitas positif lain agar orang lain bertumbuh dan maju). Guru Penggerak pun mengadopsi kerangka berpikir inkuiri-apresiatif dalam memimpin perubahan sehingga mereka lugas dalam mengemas pertanyaan-pertanyaan pemantik dialog yang mengungkap potensi, kekuatan atau aset individu maupun sekolah demi pencapaian visi bersama. Inkuiri-apresiatif juga dapat menjadi alat bantu dalam proses mengelola perubahan yang secara lebih mendetail akan dibahas tahapan-tahapannya (BAGJA)

Dengan menjalankan prinsip among Ki Hadjar Dewantara dan pola pikir inkuiriapresiatif diharapkan Guru Penggerak mampu menjalankan peran-perannya. Guru Penggerak akan mendorong adopsi pemikiran dan tindakan strategis di tengah komunitasnya, jadi mereka akan lebih banyak membangun percakapan dan kapabilitas strategis komunitasnya tidak cuma soal operasional dan teknis saja. 

Menjadi pemimpin pembelajaran juga berarti menjadi pemimpin yang menaruh perhatian penuh secara sengaja pada komponen pembelajaran, seperti kurikulum (intra, ekstra, dan ko -kurikuler), proses belajar-mengajar, refleksi dan asesmen yang otentik dan efektif, pengembangan guru, pemberdayaan dan pelibatan komunitas yang kesemuanya mendorong terwujudnya wellbeing dalam ekosistem pendidikan di sekolah. Yang dimaksud dengan wellbeing disini adalah semua yang terkait dengan kondisi yang berpihak pada murid. Apakah kondisi tersebut sudah membuat murid nyaman untuk belajar? Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan murid? Apakah lingkungan belajar di sekolah sudah memungkinkan anak untuk mendapatkan manfaat maksimal dari belajar? Guru Penggerak berperan besar dalam membuat lingkungan sekolah yang aman, nyaman, menyenangkan, namun tetap menantang, dan relevan untuk para muridnya. Mereka diharapkan mampu berperan sebagai pemimpin yang berorientasi pada sebesar-besarnya kepentingan tumbuh, kembang, dan mekarnya murid (flourish). 

2. Menjadi Coach 
Bagi Guru Lain Dalam menjalankan peran menjadi coach bagi guru lain, terutama yang terkait dengan peningkatan kualitas pembelajaran bagi murid di sekolah, Guru Penggerak dituntut untuk berdaya dalam menemani dan menuntun rekan sejawatnya itu untuk menelaah proses belajar mereka sendiri. Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa selain belajar keterampilan coaching, Guru Penggerak juga harus memberdayakan dirinya melalui refleksi atas hasil pengalaman praktik-praktik profesionalnya sendiri. Mereka harus dapat mengambil pembelajaran, memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam untuk mengakses keterampilan metakognitifnya ketika melihat dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri terkait belajar, pencapaian tujuan, dan pemecahan masalah. Sebagai coach Guru Penggerak juga harus lincah berpindah-pindah dari pemikiran pengembangan rekan sejawat pada level individu dan level anggota komunitas pendidik di sekolah. 

3. Mendorong kolaborasi 
Secara sederhana, kolaborasi berarti bekerja bersama untuk mencapai suatu tujuan atau menghasilkan sesuatu. Di sana tersirat makna bahwa setiap pihak yang terlibat memiliki kekuatan yang saat dipersatukan menjadi saling melengkapi dan produktif. Oleh karena itu, agar suatu inisiatif kolaborasi menjadi produktif, maka tiap anggota yang terlibat di dalamnya membawa “sesuatu” yang berkontribusi pada proses dan hasilnya nanti. 

Guru Penggerak harus punya pandangan apresiatif yang memungkinkan pengungkapan potensi positif rekan yang lain. Mereka membuka lebih banyak ruang dialog positif antar guru, antara guru dan pemangku kepentingan baik di dalam maupun di luar sekolah demi meningkatkan kualitas pembelajaran bagi murid. Lewat peran ini, seorang Guru Penggerak diharapkan mampu mengomunikasikan urgensi dari inisiatif perubahan yang sedang dibawakannya pada lebih banyak pemangku kepentingan, terutama mereka yang kiranya dapat membawa dampak positif pada murid. 

4. Mewujudkan Kepemimpinan Murid (Student Agency)
Guru Penggerak diharapkan mengambil peran untuk mewujudkan kepemimpinan murid. Untuk itu, Guru Penggerak perlu memahami bagaimana meramu pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga murid merasa kompeten, mandiri, dicintai, dan memiliki kepercayaan diri serta determinasi untuk mencapai segala yang mereka impikan. Guru Penggerak senantiasa memampukan diri untuk menuntun murid di sekolahnya agar murid mereka sadar bahwa sebagai murid di saat ini, mereka juga adalah wajah Indonesia di masa depan, sehingga mereka berdaya dan turut aktif berkontribusi pada makin indahnya dunia di masa depan sejak sekarang. Dalam mewujudkan kepemimpinan murid, Guru Penggerak mengerti betul esensi dari Tut Wuri Handayani, sehingga mereka menempatkan murid pada kursi pemegang kendali proses pembelajaran mereka sendiri. Guru Penggerak menuntun murid mereka belajar merdeka untuk merdeka belajar. 

5. Menggerakkan Komunitas Praktisi 
Guru Penggerak diharapkan dapat mengambil peran untuk menggerakkan komunitas praktisi di sekolah dan di wilayahnya. Agar komunitas praktisi dapat berjalan secara berkesinambungan, Guru Penggerak pun perlu menumbuhkan budaya belajar kolaboratif atau komunitas belajar profesional bersama para rekan guru di sekolah maupun wilayahnya. Komunitas belajar inilah yang menjadi wahana perjumpaan profesional para guru. Komunitas belajar ini memungkinkan terjadinya dialog akademik, percakapan profesional, perencanaan strategis, diskusi teknis secara kolaboratif, terkait dengan upaya peningkatan kualitas pembelajaran sekaligus membuahkan inovasi pembelajaran (cara baru atau cara pandang baru) yang berdampak positif bagi murid. 

Kerangka kerja Lesson Study: Merencanakan (Plan), Mengerjakan (Do), Melihat kembali (See) adalah satu dari banyak contoh kerangka kerja kolaboratif yang dapat digunakan untuk menggerakkan sebuah komunitas belajar profesional dan menghasilkan praktik-praktik baik. Banyaknya praktik baik yang dibagikan dalam komunitas tersebut akan menjadi bahan belajar bersama sehingga terus mendorong agar praktik yang dilakukan menjadi semakin baik. 

Diagram identitas gunung es

Pada bagian ini, Bapak/Ibu akan menonton sebuah video pendek berjudul “Diagram Identitas Gunung Es” yang berusaha menggambarkan bagaimana karakter seseorang ditumbuhkan. silakan ditonton


Guru adalah tukang kebun, yang merawat tumbuhnya nilai-nilai kebajikan di dalam diri murid-muridnya. Guru berkesempatan untuk mengembangkan lingkungan yang dapat mempengaruhi identitas murid agar berproses menumbuhkan nilai-nilai kebajikan. Oleh karena itu, guru harus terus mengembangkan diri menjadi teladan nilai-nilai kebajikan dan memanfaatkan ekosistem lingkungan sadar-bawah sadar, fisik-psikis, maupun ekstrinsik-intrinsik untuk menumbuhkan nilai-nilai kebajikan dengan konsisten melalui gotong-royong bersama segenap anggota komunitas di sekolahnya.

Suka atau tidak, di luar kelebihan dan kelemahannya, baik atau tidak karakternya, guru sudah terlanjur dipandang sebagai orang yang dapat diteladani di tengah masyarakat kita. Guru sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi teladan bagi muridnya. Kini, pilihannya adalah memanfaatkan kesempatan itu dengan kesadaran penuh atau membiarkannya lewat begitu saja dan tidak melakukan apa-apa. Menjadi teladan harus diupayakan secara sadar.

Lumpkin (2008), menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan murid mereka tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru ini membantu muridnya memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri, kemudian mereka mempercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa mereka, hingga kemudian mereka terus menghidupinya. Guru dengan karakter yang baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid mereka.


Berpikir strategis dan menguatkan lingkaran pengaruh

Sebagai guru penggerak, Bapak/Ibu tentu memahami bahwa perubahan yang sifatnya transformatif demi menjangkau kepentingan lebih banyak murid tidak akan mampu dilakukan sendirian, perlu menggerakkan lebih banyak guru, lebih banyak pihak. Agar mampu menggerakkan orang lain agar berdampak pada murid, Bapak/Ibu perlu memahami konsep lingkaran pengaruh. Secara sederhana, lingkaran pengaruh adalah gambaran sejauh mana pengaruh Bapak/Ibu efektif dalam membawakan perubahan, atau dalam menggerakkan orang lain.


Dalam lingkaran pengaruh, Bapak/Ibu dapat diumpamakan sebagai supir, dimana Bapak/Ibu yang memegang kendali arah kendaraan, serta mengatur kecepatannya. Jadi dalam lingkaran pengaruh, Bapak/Ibu punya “kuasa” dan kepercayaan diri untuk menjalankan inisiatif perubahan pada dimensi: diri, orang lain, institusi, dan lingkungan-masyarakat. Dalam masing-masing dimensi, Bapak/Ibu perlu menguatkan relasi (saling percaya, saling menghormati, saling bebas berekspresi), agar terbukalah komunikasi (dialog, terhubung hati dengan hati), lalu memungkinkan kolaborasi, hingga menghadirkan kontribusi (Lingkaran Ungu pada Gambar 11). Perubahan yang Bapak/Ibu bawakan pasti terjadi di dalam lingkaran pengaruh. Dari waktu ke waktu, seiring dengan makin kuat dan mampu-nya Bapak/Ibu maka lingkaran pengaruh Bapak/Ibu pun makin meluas. 

Lingkaran kuning pada Gambar 11, berusaha menggambarkan pada Bapak/Ibu dua lingkaran lain, yaitu lingkaran kepedulian dan lingkaran perhatian. Lingkaran kepedulian itu bagaikan kita di kursi penumpang, tidak punya kuasa langsung atau kuasa cukup untuk menjalankan dan mempengaruhi perubahan. Dalam perumpamaan supir, penumpang dan kendaraan tadi, lingkaran perhatian itu berada di luar kendaraan. Bapak/Ibu masih punya perhatian, tapi sebatas itu saja, perhatian. Contoh misalnya kita gemar memperhatikan berita politik, sepakbola, dan lainnya, namun tidak punya kuasa apa-apa untuk mempengaruhinya langsung. Untuk itu, Bapak/Ibu tidak perlu menghabiskan terlalu banyak energi dan pikiran untuk stress ketika tidak mampu melakukan perubahan di lingkaran kepedulian atau lingkaran perhatian. Nikmati proses menguatkan dan memperluas pengaruh Bapak/Ibu sedikit demi sedikit, orang demi orang. Mulailah dengan menguatkan lingkaran pengaruh dari dimensi diri sendiri.

 

Gambar 12. Dimensi pada lingkaran pengaruh

Dengan demikian, Bapak/Ibu dapat menempatkan diri untuk berpikir sebagai pemimpin di tataran individu, maupun mengadopsi pemikiran strategis di tataran ekosistem pendidikan, sesuai lingkaran pengaruh Bapak/Ibu, dalam hal ini yang sudah pasti adalah murid di kelas dan rekan lain di sekolah, sehingga mampu memfasilitasi gotong-royong dalam mencari jawaban sebagai penyelaras konteks (context setter), bukan sekedar sebagai penyedia jawaban.

Nilai-nilai Guru Penggerak

 Rokeach (dalam Abdul H., 2015), menyatakan bahwa nilai merupakan keyakinan sebagai standar yang mengarahkan perbuatan dan tolok ukur pengambilan keputusan terhadap objek atau situasi yang sifatnya sangat spesifik. Kehadiran nilai-nilai positif dalam diri seseorang akan membantu mereka mengambil posisi ketika berhadapan dengan situasi atau masalah, sebagai bahan evaluasi ketika membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari. 
Melihat peranan nilai sangat penting dalam kehidupan tingkah laku sehari-hari, maka rasanya penting bagi seorang Guru Penggerak untuk bisa memahami dan menjiwai nilai-nilai dari seorang Guru Penggerak. Guru Penggerak diharapkan untuk memimpin dan mengelola perubahan. Sebagai pemimpin perubahan, Guru Penggerak diharapkan mulai berlatih dan mengadopsi kebiasaan “berpikir sistem” sebagai pendekatan holistik yang berfokus pada bagaimana bagian-bagian penyusun sebuah ekosistem pendidikan saling terkait dan bagaimana bagian-bagian tersebut dari waktu ke waktu bekerja secara simultan dalam konteks lain atau sistem lain yang lebih besar. Dengan begitu, Guru Penggerak dapat lebih mendalam dan jernih dalam “memahami perubahan” yang sedang berjalan (atau dibawakan) terutama pada tataran strategis untuk menjawab pertanyaan “mengapa” yang menjadi alasan moral dan rasional, dan memiliki mentalitas untuk mewujudkan inisiatif perubahan menjadi nyata (make it happen mentality). 
Guru Penggerak yang paham akan perubahan berarti paham bahwa bersama perubahan, datang pula gangguan atau kekacauan. Akan ada perbedaan pendapat yang harus dipahami, didamaikan. Guru Penggerak perlu “membangun keselarasan atau koherensi” secara efektif untuk menuntun yang lain melampaui perbedaan dan menerima perbedaan yang muncul ke permukaan. Dengan demikian, Guru Penggerak juga akan mengadopsi mentalitas “berpikir berbasis aset” yang mengapresiasi dan memanfaatkan kekuatan atau sumberdaya yang telah dimiliki, bukan berkutat pada apa yang tidak dimiliki. 
Dengan demikian, dalam membawakan perubahan Bapak/Ibu diharapkan dapat beranjak dari keadaan diri yang kurang berkesadaran menuju ke diri yang berkesadaran penuh. Kesadaran penuh bersama lima keterampilan sosial-emosional (kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan relasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dan beretika) yang memungkinkan bertumbuhnya pola pikir dan nilainilai yang diharapkan menubuh pada Guru Penggerak akan dipelajari lebih dalam di paket modul berikutnya (Modul 2.2 . Gambar 10 di bawah ini berupaya mengilustrasikan katakata kunci yang terkait dengan nilai-nilai guru penggerak: (1) berpihak pada murid, (2) reflektif, (3) mandiri, (4) kolaboratif, serta (5) inovatif. 

Gambar 11. Roda Nilai Guru Penggerak 

Nilai 1. Berpihak pada Murid 
Berpihak pada murid sebagai filosofi utama dari Ki Hadjar Dewantara. Nilai ini mensyaratkan Guru Penggerak untuk selalu bergerak dengan mengutamakan kepentingan murid. Sebagai bentuk keberpihakan tersebut, kita juga perlu menilik sejenak dokumen yang disetujui dan berlaku secara universal di dunia yang terkait dengan pendidikan anak, yaitu: Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak atau United Nations Convention on the Rights of the Child (UN CRC) yang juga telah disetujui/diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Tujuan pendidikan anak secara universal cukup jelas dituliskan dalam pasal 29 ayat 1 UN CRC sebagai berikut: 
1. Negara-negara Pihak setuju bahwa pendidikan anak harus diarahkan untuk: 
(a) pengembangan kepribadian, bakat dan kemampuan mental dan fisik anak secara maksimal; 
(b) Pengembangan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dan untuk prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
(c) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua anak, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya anak itu sendiri, untuk nilai-nilai nasional dari negara tempat anak itu tinggal, negara dari mana ia mungkin berasal, dan untuk peradaban yang berbeda dengan milik mereka; 
(d) Penyiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam masyarakat yang bebas, dalam semangat saling memahami, perdamaian, toleransi, kesetaraan jenis kelamin, dan persahabatan di antara semua orang, kelompok etnis, bangsa, dan agama, serta orang-orang asli; 
(e) Pengembangan rasa hormat terhadap lingkungan alam. 

Makna dari tujuan pendidikan pada pasal 29 ayat 1 UN CRC ini sangat dalam dan luas, melampaui teksualnya karena kesepakatan ini dihasilkan oleh seluruh ahli anak di dunia dengan latar-belakang ilmu yang beragam. Kesepakatan ini telah melingkupi 4 poin utama yakni perkembangan diri sendiri, penguatan identitas yang melingkupi anak, penghormatan HAM, dan penghormatan atas lingkungan. Poin penghormatan kepada HAM itu intrinsik dengan nilai universal manusia dan selaras dengan Sila 2 Pancasila. Penghormatan terhadap lingkungan alam, merupakan bentuk tanggung-jawab dan perwujudan filosofi Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan anak yang selaras dengan kodrat alam dan kodrat zaman, mengingat persoalan lingkungan alam, perubahan iklim, perusakan lingkungan dan lain sebagainya akan semakin nyata di hari-hari depan anak-anak kita. 

Segala keputusan yang diambil oleh seorang Guru Penggerak harus didasari oleh semangat untuk memberdayakan dirinya serta memanfaatkan aset/kekuatan yang ada untuk menyediakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang positif serta berkualitas bagi muridnya. Segala hal yang Guru Penggerak lakukan, harus bergeser dari pemuasan kepentingan diri sendiri, maupun pihak lain, menuju kepentingan pembelajaran murid. Guru Penggerak yang memiliki nilai ini, akan selalu berpikir mengenai pertanyaan utama yang mendahulukan muridnya, seperti: “apa yang murid butuhkan?”, “apa yang bisa saya lakukan agar suasana belajar dan proses pembelajaran ini lebih baik?”, “bagaimana saya dapat membuka lebih banyak kesempatan bagi anak untuk mewujudkan dunia yang mereka idamkan?”, dan lain-lain. 

Nilai 2. Mandiri 
Nilai Mandiri ini, secara sederhana menggambarkan semangat Guru Penggerak untuk terus belajar sepanjang hayat. Ini juga berarti seorang Guru Penggerak harus senantiasa memampukan dirinya sendiri dalam melakukan aksi serta berkenan mengambil tanggung jawab dan turun tangan untuk memulai perubahan. Guru Penggerak yang mandiri termotivasi untuk mengembangkan dirinya tanpa harus menunggu adanya pelatihan yang ditugaskan oleh sekolah, dinas, atau pihak lain. 

Seyogyanya, dalam membawakan perubahan yang positif, pendidik perlu memahami psikis-fisik-etis-estetis manusia dan pedagogis (pendidikan anak). Hal itu selaras dengan Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa seorang guru harus menguasai lima ilmu yaitu: ilmu hidup batin (psikologis), ilmu hidup jasmani (fisiologis), ilmu kesopanan (etika), ilmu keindahan (estetika), dan ilmu pendidikan (pedagogis). Dengan demikian, Guru Penggerak harus secara sengaja merencanakan dan melakukan perbaikan diri sehingga makin menguasai dan makin ahli dalam apapun yang dianggap perlu untuk membawakan perubahan yang berpihak pada murid. Guru Penggerak yang mandiri memiliki daya lenting dan terpacu untuk memperhatikan kualitas kinerja dan hasil kerja mereka. Mereka beranjak dari “kekaburan dan ketidaktepatan” menuju “keelokan dan ketepatan” kualitas kinerja dan hasil kerja mereka. 

Nilai 3. Reflektif 
Nilai Reflektif layaknya adalah model mental yang diharapkan menubuh pada Guru Penggerak dimana mereka senantiasa memaknai pengalaman yang terjadi di sekelilingnya, baik yang terjadi pada diri sendiri maupun pihak lain secara positif-apresiatif-produktif. Proses mewujudkan Profil Pelajar Pancasila pada diri sendiri sebagai Guru Penggerak dan menuntun perwujudannya pada murid-murid merupakan perjalanan yang penuh dengan variasi pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman ini boleh jadi akan menimbulkan kesan positif maupun negatif. Dengan mengamalkan nilai reflektif, Guru Penggerak memanfaatkan pengalaman-pengalaman tersebut sebagai pembelajaran untuk menuntun dirinya, murid, dan sesama dalam menangkap pembelajaran positif, sehingga mampu menjalankan perannya dari waktu ke waktu. 

Guru Penggerak yang memiliki nilai reflektif, memiliki daya saing yang tinggi karena mereka sadar akan hakikat persaingan. Mereka akan bersaing dengan potensi dan upaya diri mereka sendiri. Dengan begitu, mereka terus mengupayakan peningkatan efikasi dirinya, bagaimana mendorong dirinya untuk membuat pilihan-pilihan masuk akal dan bertanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kinerja dan hasil kerjanya, serta bergeser dari dorongan perubahan diri yang sifatnya eksternal menuju penguatan dorongan diri yang bersifat internal. 

Guru Penggerak yang reflektif tidak hanya berhenti sampai rencana tindakan saja, mereka juga mengejawantahkannya lewat tindakan nyata sebagai perbaikan yang perlu dilakukan. Dalam konteks Pendidikan Guru Penggerak, Bapak/Ibu CGP harus menjadikan refleksi sebagai kebiasaan bukan sekedar sebagai tugas menyelesaikan tagihan materi. Refleksi yang baik dapat membantu mengubah pengalaman menjadi proses pembelajaran yang memberdayakan baik individu maupun kelompok dalam meningkatkan dan mengungkap potensi mereka. Sehingga refleksi harus menjadi kebutuhan. Guru Penggerak yang reflektif memperlakukan kegiatan refleksi ini secara pribadi, menuliskan kata demi kata yang memang bermakna dan membuat dirinya sendiri tulus bergerak, bukan sekedar untuk terlihat indah dan enak dibaca saja. 

Bacaan 4. Model Refleksi Model refleksi 4P Merupakan model pertanyaan yang bisa kita gunakan untuk memaknai pengalaman yang sudah pernah kita rasakan sebelumnya. Keempat langkah ini merupakan terjemahan dari 4F yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway (1991), yaitu: 
  •  Peristiwa (Facts): paparan objektif berdasarkan pengalaman nyata atas apa yang sejauh ini telah dialami. Contoh pertanyaan: apa kendala yang saya hadapi? apa hal baik yang saya alami dalam proses tersebut? apa yang saya lakukan dalam mengatasi kendala tersebut? apakah tindakan tersebut berhasil?
  • Perasaan (Feelings): apa yang dirasakan kini setelah mengikuti proses tersebut. Contoh pertanyaan: Apa yang saya rasakan ketika menghadapi kendala tersebut? ketika saya mencoba mengatasi kendala tersebut bagaimana perasaan saya? 
  • Pembelajaran (Findings): apa hal paling konkrit yang dapat diambil sebagai pembelajaran dan mungkin telah membawa makna baru. Contoh pertanyaan: apa yang saya pelajari dari proses ini? apa hal baru yang saya ketahui mengenai diri saya setelah proses ini? 
  • Penerapan ke depan (Future): apa hal yang dapat segera diterapkan baik sebagai individu. Contoh pertanyaan: apa yang bisa saya lakukan ke depannya dari pembelajaran dalam proses ini? pada aspek apa? Model refleksi 5M Model refleksi ini diadaptasi dari model 5R (Bain dkk. (2002) dalam Ryan & Ryan (2013)). 
5M terdiri dari langkah-langkah berikut: 
  • Mendeskripsikan (Reporting): menceritakan ulang peristiwa yang terjadi 
  • Merespon (Responding): menjabarkan tanggapan yang diberikan dalam menghadapi peristiwa yang diceritakan, misalnya melalui pemberian opini, pertanyaan, ataupun tindakan yang diambil saat peristiwa berlangsung. 
  • Mengaitkan (Relating): menghubungkan kaitan antara peristiwa dengan pengetahuan, keterampilan, keyakinan atau informasi lain yang dimiliki. 
  • Menganalisis (Reasoning): menganalisis dengan detail mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi, lalu mengambil beberapa perspektif lain, misalnya dari teori atau kejadian lain yang serupa, untuk mendukung analisis tersebut. 
  • Merancang ulang (Reconstructing): menuliskan rencana alternatif jika menghadapi kejadian serupa di masa mendatang. 

Nilai 4. Kolaboratif
Nilai Kolaboratif berarti seorang Guru Penggerak mampu senantiasa membangun daya sanding. Mereka memperhatikan pentingnya kesalingtergantungan yang positif terhadap seluruh pihak pemangku kepentingan yang berada di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah (contoh: orang tua murid dan komunitas terkait) dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, seorang Guru Penggerak akan bertemu banyak sekali pihak yang mampu mendukung pencapaian Profil Pelajar Pancasila. Guru Penggerak diharapkan mampu mengomunikasikan kepada semua pihak mengenai pentingnya keberpihakan pada murid. Guru Penggerak yang menjiwai nilai kolaboratif mampu membangun rasa saling percaya dan saling menghargai, serta mengakui dan mengelola kekuatan serta perbedaan peran tiap pemangku kepentingan di sekolah, sehingga tumbuh semangat saling mengisi, saling melengkapi. Semangat pembelajaran tim. Mereka beranjak dari laku yang terisolasi dan saling terpisah menuju laku yang terhubung oleh perhatian dan urgensitas yang sama dalam komunitasnya, dalam hal ini adalah kepentingan pembelajaran murid.

Nilai 5. Inovatif 
Makna dari nilai Inovatif adalah seorang Guru Penggerak mampu senantiasa memunculkan gagasan segar dan tepat guna. Dengan demikian, nilai inovatif ini juga mengisyaratkan penguatan semangat ko-kreasi (gotong-royong) dan pemberdayaan aset/kekuatan yang ada di sekolah untuk mewujudkan visi bersama. Di tengah perkembangan zaman, realitas situasi yang dihadapi pendidik pun semakin volatil (tidak dapat ditebak), tidak pasti, kompleks, ambigu (meragukan, kurang jelas, sehingga dalam menghadapinya cenderung kurang awas). 
Agar nilai inovatif muncul, maka diperlukan fleksibilitas (daya lentur) dari seorang Guru Penggerak. Mereka berkenan mengadopsi multiperspektif, mencari dan membuat alternatif, mengubahsuaikan gaya dan kecenderungan lama, untuk mewujudkan perubahan dan bergeser dari pandangan yang ego-sentris serta sempit menuju pandangan-pandangan alternatif dan luas. Guru Penggerak yang mempunyai nilai inovatif juga pantang menyerah (daya lenting) serta jeli melihat peluang/potensi yang ada di sekitarnya untuk mendukung dan meningkatkan kualitas pembelajaran murid.
x

Profil Pelajar Pancasila


Tujuan dari pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. 
Ki Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa dalam proses menuntun, diri anak perlu merdeka dalam belajar serta berpikir, dituntun oleh para pendidik agar anak tidak kehilangan arah serta membahayakan dirinya. Semangat agar anak dapat bebas belajar, berpikir, agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan berdasarkan kesusilaan manusia ini yang akhirnya menjadi tema besar kebijakan pendidikan Indonesia saat ini, Merdeka Belajar. 
Semangat Merdeka Belajar yang sedang dicanangkan ini juga memperkuat tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dimana Pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kedua semangat ini yang kemudian memunculkan sebuah pedoman, sebuah penunjuk arah yang konsisten, dalam pendidikan di Indonesia. Pedoman tersebut adalah Profil Pelajar Pancasila (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020). 
Profil Pelajar Pancasila ini dicetuskan sebagai pedoman untuk pendidikan Indonesia. Tidak hanya untuk kebijakan pendidikan di tingkat nasional saja, akan tetapi diharapkan juga menjadi pegangan untuk para pendidik, dalam membangun karakter anak di ruang belajar yang lebih kecil. 
Pelajar Pancasila disini berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Pelajar yang memiliki profil ini adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya yang harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila satu dimensi ditiadakan, maka profil tersebut menjadi tidak bermakna. 

Keenam dimensi itu adalah: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan global; 5) Bernalar kritis; 6) Kreatif.  

1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia Murid dengan dimensi profil ini berarti murid tersebut mengamalkan nilai-nilai agama dan kepercayaannya sebagai bentuk religiusitasnya, percaya dan menghayati keberadaan Tuhan serta memperdalam ajaran agamanya yang tercermin dalam perilakunya sehari-hari sebagai bentuk penerapan pemahaman terhadap ajaran agamanya. Dalam usahanya memperkuat iman dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, murid dengan profil ini juga menghargai segala bentuk ciptaan Nya, baik itu alam tempat ia tinggal, manusia lain, dan yang juga tidak boleh dilupakan, dirinya sendiri. Dengan menghargai hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dirinya sendiri, orang lain, serta alam, maka seorang murid dapat memenuhi dimensi ini. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. 

  • Akhlak Beragama. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu ataupun memiliki: - Mengenal dan mencintai Tuhan Yang Maha Esa - Pemahaman agama/kepercayaan - Pelaksanaan ajaran agama/kepercayaan 
  • Akhlak Pribadi. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan ataupun memiliki: - Integritas (sebagai bentuk penghormatan terhadap diri sendiri dalam relasi dengan orang lain) - Merawat diri secara fisik, mental, dan spiritual 
  • Akhlak kepada manusia. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan: - Mengutamakan persamaan dengan orang lain dan menghargai perbedaan - Berempati kepada orang lain
  • Akhlak kepada alam. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan: - Menjaga lingkungan - Memahami keterhubungan ekosistem bumi 
  • Akhlak bernegara. Dalam elemen ini seorang murid mampu menunjukkan: - Melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara 

2) Berkebinekaan Global Murid dengan dimensi profil ini merupakan seorang murid yang berbudaya, memiliki identitas diri yang matang, mampu menunjukkan dirinya sebagai representasi budaya luhur bangsanya, serta terbuka terhadap keberagaman budaya daerah, nasional, global. Hal ini dapat diwujudkan dengan kemampuan berinteraksi secara positif antar sesama, memiliki kemampuan komunikasi interkultural, serta mampu memaknai pengalamannya di lingkungan majemuk sebagai kesempatan pegembangan dirinya. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Berkebinekaan Global: 

  • Mengenal dan menghargai budaya. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu: - Mendalami budaya dan identitas budaya - Mengeksplorasi dan membandingkan pengetahuan budaya, kepercayaan, serta praktiknya - Menumbuhkan rasa menghormati terhadap keanekaragaman budaya 
  • Komunikasi dan interaksi antar budaya. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan: - Berkomunikasi antar budaya - Mempertimbangkan dan menumbuhkan berbagai perspektif 
  • Refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan: - Melakukan refleksi terhadap pengalaman kebinekaan - Menghilangkan stereotip dan prasangka - Menyelaraskan perbedaan budaya 
  • Berkeadilan Sosial. Dalam elemen ini seorang murid mampu: - Turut serta aktif, membangun masyarakat yang adil, inklusif dan berkelanjutan - Berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan bersama - Memahami peran individu dalam demokrasi 

3) Gotong Royong Seorang murid yang memiliki dimensi Gotong Royong berarti murid tersebut mampu berkolaborasi dengan orang lain dan secara proaktif mengupayakan pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan orang-orang yang ada dalam masyarakatnya. Murid tersebut juga sadar bahwa Ia tidak hidup sendiri, memiliki kesadaran diri sebagai bagian dari kelompok, sehingga perlu ada usaha dari dirinya untuk membantu pencapaian kebahagiaan kelompoknya. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Gotong Royong: 

  • Kolaborasi. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan: - Kerjasama - Berkomunikasi untuk mencapai tujuan bersama - Menumbuhkan rasa saling ketergantungan positif (menyadari peran dirinya dan peran orang lain dalam kontribusinya dalam pencapaian tujuan kelompok) - Koordinasi Sosial (melakukan koordinasi demi pencapaian tujuan bersama) 
  • Kepedulian. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan atau memiliki: - Tanggap terhadap lingkungan - Persepsi sosial (memahami dan menghargai lingkungan sosialnya, untuk memunculkan situasi yang sejalan dengan kesejahteraan lingkungan sosialnya) 
  • Berbagi. Memberi dan menerima segala hal yang penting bagi kehidupan pribadi dan bersama. 

4) Mandiri Seorang murid yang memiliki dimensi mandiri berarti murid tersebut mempunyai prakarsa atas pengembangan diri dan prestasinya dan didasari pada pengenalan kekuatan serta keterbatasan dirinya serta situasi yang dihadapi, dan bertanggung jawab atas proses dan hasilnya. Murid yang memiliki dimensi ini juga mampu mengelola dirinya sendiri (pikiran, perasaan, tindakan) untuk mencapai tujuan pribadinya ataupun tujuan bersama. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Mandiri: 

  • Pemahaman diri dan situasi. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu: - Mengenali kualitas dan minat diri serta tantangan yang dihadapi - Mengembangkan refleksi diri 
  • Regulasi diri. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu: - Regulasi emosi - Menetapkan tujuan dan rencana strategis pengembangan diri dan prestasi - Memiliki inisiatif bekerja secara mandiri - Mengembangkan kendali dan disiplin diri - Percaya diri, resilien dan adaptif 

5) Bernalar Kritis Seorang murid yang memiliki dimensi Bernalar Kritis berarti murid tersebut mampu menggunakan kemampuan nalar dirinya untuk memproses informasi, mengevaluasinya, hingga menghasilkan keputusan yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Murid tersebut mampu menyaring informasi, mengolahnya, mencari keterkaitan berbagai informasi, menganalisa serta membuat kesimpulan berdasarkan informasi tersebut. Dimensi ini juga berarti keterbukaan terhadap berbagai macam perspektif ataupun pembuktian baru (termasuk pada pendapatnya semula yang digugurkan oleh pembuktian baru ini). Keterbukaan ini pun mampu bermanfaat dalam kehidupan murid di masa mendatang karena menumbuhkan murid yang terbuka, mau mengubah pendapatnya, serta menghargai pendapat orang lain. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Bernalar Kritis: 

  • Memperoleh dan memproses informasi dan gagasan. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu: - Mengajukan pertanyaan (untuk mengumpulkan data yang akurat) - Mengidentifikasi, mengklarifikasi dan mengolah informasi dan gagasan 
  • Menganalisa dan mengevaluasi penalaran. 
  • Merefleksi dan mengevaluasi pemikirannya sendiri. 

6) Kreatif Seorang murid yang memiliki dimensi kreatif berarti mampu memodifikasi, menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak untuk mengatasi berbagai persoalan baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk lingkungan di sekitarnya. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Kreatif: 

  • Menghasilkan gagasan yang orisinal. 
  • Menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal. 
  • Memiliki keluwesan berpikir dalam mencari alternatif solusi permasalahan. 

Profil Pelajar Pancasila ini juga tidak harus diajarkan dalam mata pelajaran khusus, namun memang harus diajarkan secara eksplisit, juga terintegrasi dalam muatan pembelajaran. Dalam usaha mewujudkan Profil Pelajar Pancasila ini, tentunya perlu peran pendidik untuk menuntun anak serta menumbuhkan profil yang dijabarkan. Peran pendidik yang pertama terkait dengan Profil Pelajar Pancasila ini adalah mengenali dan menjalankan profil ini terlebih dahulu. 

Ketika seorang pendidik menghidupi profil ini, maka akan lebih mudah bagi murid untuk mengikutinya. Keteladanan seorang guru dalam menjalankan profil ini pasti akan dilihat dan dipelajari oleh para muridnya. Oleh karena itu, Program Guru Penggerak ini ada untuk melengkapi Bapak/Ibu sekalian agar menjadi Guru Penggerak yang berfokus pada pembentukan Profil Pelajar Pancasila.

Manusia Merdeka: Termotivasi dari Dalam (Motivasi Intrinsik)


UU RI No. 20/2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, Ketentuan Umum Pasal 1, No.1, menyatakan: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”


Pernyataan tersebut merupakan penguatan bahwa pendidik harus menuntun segala kekuatan kodrat anak dari dalam. Ryan dan Deci (2000) melalui teori determinasi diri (self-determination theory), mengisyaratkan bahwa pendidik perlu fokus dalam menyediakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang memungkinkan anak menguatkan dan menumbuh-kembangkan motivasi intrinsik mereka. Dalam penerapannya, suasana belajar dan proses pembelajaran yang disediakan harus dapat membuat anak senantiasa: merasa kompeten (mampu, dapat, cakap), merasa saling-terhubung (kebutuhan sosial yang diusahakan oleh individu untuk membangun hubungan dengan sesamanya), dan merasa otonom (mandiri, merdeka). 


Jadi, jika kita mengharapkan anak memiliki determinasi atau ketetapan hati, dalam menentukan jalan kodrat mereka, maka anak harus mampu menghayati perasaan akan kompetensi, otonomi, dan relasi mereka dan mengambil makna positifnya. Kata "merasa" menjadi kata yang penting untuk diperhatikan karena menunjukkan bahwa suasana dan proses pembelajaran harus mampu menguatkan anak di tingkat “perasaan” sehingga bersifat pribadi dan mendalam bagi masing-masing anak. Dengan demikian, para pendidik harus mulai dan terus menguatkan dirinya untuk menumbuh-kembangkan motivasi intrinsik.
x